Dulu sekali, Mas Wi sering bersikap normal di antara kegilaanya. Dia masih bermain catur dengan piawai, mengalahkan beberapa tetangga termasuk saya. Permainannya mungkin setingkat dengan Erief Wardono. Dia juga memetik gitar dengan lihai ketika ada yang meminjaminya. Meski tidak terlalu sering, dia juga mengunjungi Wonorejo dengan berjalan kaki untuk sekedar “ngungkal keris.” Tulisan tangannya juga halus dan rapi, kas tulisan tangan orang-orang dulu.
Kini hanya yang terakhir saja yang masih terlihat. Mas Wi masih tetap rajin menulis. Dia catat dengan teliti di buku sekrip kumal semua hutang-hutangnya. Mas Wi selalu membedakan mana hutang dan mana minta. Sesekali dia akan bilang minta terhadap sesuatu, tetapi di banyak kali yang lain di bilang hutang. Dan itu dicatatnya. Di rumahnya yang gelap dan pengap banyak terselip buku-buku kumal penuh catatan hutang, berbaur dengan gelas-gelas aqua kosong yang sengaja dikumpulkannya. Catatan tentang hutang ke Mbah Nah, mbah saya yang dulu jualan kecil-kecilan, masih bisa ditemukan. Padahal waktu itu Mbah Nah sudah meninggal beberapa tahun. Ada juga hutang ke Koh Sundat, pemilik toko sepeda di samping Puma Plaza bapake Taurus Budiono koncone Bancoce.
Akhir-akhir ini Mas Wi punya media ekspresi lain. Di depan pintu rumahnya banyak terdapat kantung-kantung plastik berisi tanah. Sebagian teronggok begitu saja, sebagian tercantol di kusen jendela atau talang air. Batu-batu kecil tersusun rapi di atas pintu, atau sengaja ditumpuk mengerucut di tanah samping rumah. Mirip pura-pura kecil. Temboknya berlubang disumpal batu-batu gandik, tulang-tulang ayam, atau ranting-ranting pohon. Seperti seni instalasi yang ingin berucap sesuatu.
Adakah engkau ingin menyampaikan pesan pada tetangga atau pada orang-orang yang lewat, Mas Wi?
Bertahun-tahun hidup berdampingan, hampir tak ada hal baik yang pernah saya lakukan untuknya. Mungkinkah itu karena Mas Wi tak pernah tampak sakit sekali pun? Justru hal sebaliknya yang terjadi. Mas Wi pernah sekali merelakan rambutnya saya potong. Pakai gunting kain. Bundas tentu saja. Tapi sejak itu saya jadi bisa motong rambut.
Apa gerangan yang dipikirkan Mas Wi di setiap malam gelap menjelang tidurnya? Adakah dia merindukan Mbak Sul, istri yang meninggalkannya di awal-awal kegilaanya? Adakah ia melamunkan masa-masa dulu ketika toko bapaknya menjadi tempat antri sembako masyarakat Tuban? Ataukah dia sibuk menghitung-hitung berapa banyak becak yang pernah ia punya? Jangan-jangan Mas Wi tidak memikirkan sesuatu pun.
Mas Wi, punya nama lengkap Wiyono. []
tom, ente pancen galadap. lha mesti wae mas wi gak iso nyanggah, lha gak mbok keki hak jawab.
ketoke sing ape diprotes masalah ngungkal keris he he he..
hidup N-Pass Wissorahhhhh…