Ruang pojok dekat Kantor Guru. Itulah ruang kelas yang pertama kali menampung kita. Kita mau tak mau memang harus menempatinya, minimal untuk satu tahun, sebagai konsekuensi atas sikap kita memilih program ilmu-ilmu fisik. Kita datang dari kelas I yang berbeda-beda. Dari satu sampai enam semua ada. Pokoknya Bhinneka Tunggal Ika (awas bukan Ika-nya Dony). Dan itu menjelma menjadi kelas 2 Fisika 1 atau 2A1-1.
Di sana ada sosok jaliteng Pekyo yang mewakili kelas I-1 (tidak sama dengan nol). Figur arif BEC yang datang dari kelas I-2, ada Diana yang ngaku dari kelas I-3, lalu Sepeh dari I-4, Anik dari I-5, dan wajah tak berdosa Bancoce yang dengan suara lantang ngomong dari I-6. Tak ketinggalan Markemul yang seolah sudah tertulis di Lauh Mahfudz, ditakdirkan untuk bersama kita. Aku sendiri? Entah mukjizat apa yang datang menyertaiku, sehingga aku yang sempat sehari ndekem di kelas 2 Fisika 2, dipindahkan ke 2 Fisika 1.
Ya lengkaplah kebhinekaan (walafuw Don, gak onok Ika-ne) itu. Setiap anak yang masuk 2 Fisika 1 membawa serta karakternya yang tentu saja berbeda satu sama lain. Mesti tak harus mulai dari nol lagi, toh kita perlu menyesuaikan dengan lingkungan baru itu. Beberapa perbedaan harus kita perminim amplitudonya. Persamaan-persamaan yang ada terus kita bina. Agaknya ruang pojok itulah yang menjadikan saksi bisu bin tuli (boleh kok, kalo ditambah picek), bagaimana kita mengatasi hal itu. Tidak mudah memang. Ingatkah Ente saat ada dua versi kaos olah raga: Dafiss dan Angop. Itulah saat bagaimana kita masih terbelenggu oleh ikatan primordial yang sudah nempel sebelumnya. Tapi lucunya sekali, aku jadi ingat kepanjangan Angop: Andalan Generasi Orde Pembangunan. Maut Nda!
Masing-masing, katakanlah kubu, mencoba saling memaksakan ide. Dan itu merupakan hal yang sangat jamak bagi siapapun juga yang tengah menjalani masa ‘aklimatisasi.’ Perbedaan harus selalu ada. Tak akan pernah ada persatuan tanpa ada perbedaan. Dan bahkan katanya persatuan akan dapat berdiri kokoh di atas perbedaan-perbedaan yang terpelihara dengan wajar. Mau yang lebih ekstrim: perbedaan adalah rahmat!
Perbedaan tak selalu identik dengan dengan perpecahan. Dan begitulah yang terjadi dengan kelas kita. Tanpa harus menghapus semua beda yang ada, jalinan shohib yang makin kondusif mulai terbina. Semuanya itu bisa terwujud tak lain karena kita juga punya sakdabreg persamaan. Mulai hobi basket, hobi bal-balan, klopnya kita kalo lagi ngakak-ngakakan, dan yang paling penting kita semua maniak mangan-mangan. Ketok’e gak onok protes kalo basket dan juga bal-balan diklaim sebagai wahana paling berjasa untuk semua itu. Bola basket tak pernah lupa kita bawa ke sekolah. “Buat jaga-jaga kalo Bu Widi atau pak Nasrukan lupa ngajar,” alasan Kemul waktu itu. “Wong Nasrukan kok mbok jagakno kosong. Mbok sampek alun-alune pindah toh, ra ngarah kathik tau kosong,” sumpah serapah Fauzzy kontan menyembur.
Tapi, tanpa jam kosong pun, basket jalan terus. I love this game, kata-kata orang NBA sana, juga kita. Toh waktu ngaso sudah cukup panjang untuk sekedar mencetak sepuluh point. Gak iyo, Mul?
Kita tak merasa, ditingkah hentakan bola basket yang kita dribble, sebuah tonggak kekompakan kita dirikan. Semakin lama dan semakin banyak tonggak sejenis berdiri (bukan ‘tonggak’nya Fauzzy). Puncaknya: sebuah shooting three points mengikat tonggak-tonggak itu menjadi sebuah bangun kokoh. Bangun kekompakan kita. Guah Nda! Hasilnya sudah kita lihat. Kita kompak luar dalam. Setiap kali tantangan basket, kita tak sekali pun pernah jadi pecundang. Kelas sebelah, kelasnya Wemi, Sampek, Rasmin, Mukti, Sumiono, selalu saja bisa kita atasi. Tapi sayang, pesta menthok yang selalu kita impikan setiap kali menang totohan, belum pernah jadi kenyataan. Piye Don? Sokran sing ngerti, Nda!
Antiklimaks memang pernah terjadi. Di tengah prestasi basket kita yang meruyak, kita mengalami kekalahan yang menyesakkan di final klasmiting. Saat itulah seolah kita bersumpah: tak akan pernah memaafkan kekalahan. Dan tampaknya hal itu menjadi kenyataan. Saat kelas tiga, kita bak Julio Cesar: veni, vidi, vici.
Bal-balan? Jangan ditanya. Karena dari bal-balan lah muncul istilah Posyandu. Kalo suka ketemu suka, salah sendiri kalo nggak bilang cinta. Begitulah, karena sama-sama keranjingan bal-balan, belajar pun rela disemayani. Nggak ada kelas yang begitu hingar binggar pas ngomong bal-balan, selain kelas kita. Kemul fanatik dengan Manchester United dan Tim Inggris. Dony ngefans sama Roberto Pekyo dan Tim Itali. Jon Arif maniak dengan AC Milan dan Tim Oranye. Sedangkan Mobek selalu berdoa untuk Lothar Matthaus dan Tim Ueber Alles. Bayangkan! Apa jadinya kelas kita kalo orang- orang itu mulai ngomong sepakbola. Mereka bak holigan, selaku menyanjung pemain dan tim pujaannya, serta tak lupa ngebles-ngeblesno pemain dan tim lain. Godar, Mang Usup, Coce, Nico dan semacamnya yang notabene nggak ada amper terhadap sepakbola, sorak-sorak kegirangan melihat Dony otot-ototan dengan Kemul atau Jon Arif ngede-ngede Mobek. Rame pokok’e. Kalo demam sepakbola sudah melanda sedemikian rupa, kaki dan kepala ini terasa gatal untuk tidak menendang dan menyundul bola. Martekuk orang yang paling antusias dalam masalah saduk-menyaduk dan sundul-menyundul. Maklum saat itu dia kan sudah seperti demitnya lapangan Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat, wis ngerti Nda!). Akhirnya Lapangan Puskesmas akrab dengan kita. Tak kurang seminggu sekali kita sapa dia dengan bola.
Dari sini sebuah momen penting muncul. Begitu selesai latihan, sepanci atau sesablok (terserah Ente) kolok kacang ijo telah dicepakno sebehe Tekuk. Opone Nda, gak unus? Mungkin inilah yang membuat Ente-ente sregep latihan. Mulai Purnomo yang jauh-jauh datang dari Plangplung, eh Plungplang, eh Plumpang sampai Markum yang nggak hobi bal-balan. Akhirnya keberadaan kacang ijo nggak pernah kita lupakan saat latihan. Inilah cikal bakal Posyandu itu, karena acara ngacang ijo kemudian seringkali juga digelar di luar latihan bal-balan. Menunya pun ditambah sego goreng. Karena plek dengan menu balita saat penimbangan di Pos Pelayanan Terpadu samping Kelurahan, acara ini kita namakan juga dengan Posyandu.
Posyandu semakin dapat tempat setelah harem-harem yang ternyata doyan mangan juga ikut ambil bagian. Akhirnya Posyandu jadi trade mark kita sampai detik ini. Setiap ada kesempatan, Posyanduan memang jadi pilihan. Dari urunan satusan, cukuplan untuk sepanci kacang ijo dan sewakul sego goreng. Tapi panci karo wakule guedik. Menu sederhana memang bukan halangan bagi kita. Yang penting kebersamaan. Dan itu memang benar. Kita jadi semakin shohib. Seperti keluarga sendiri. Keluarga apa? Keluarga Kaspo, jawab salah seorang dari Ente-ente waktu itu. Ya, kita memang sering kaspo-kaspoan kalo lagi nglumpuk.
Banyak acara-acara monumental telah kita buat sama-sama. Kemah di Nyipeng dan Sale adalah salah dua di antaranya. Aku percaya, memori tentang peristiwa itu masih tersimpan rapi dalam file Ente. Tak terasa, kemah di Nyipeng sudah hampir satu pelita. Sedangkan yang di Sale telah menginjak tahun ke-4. Bukankah saat itu lagi rame-ramenya Piala Dunia Itali 1990? Beberapa bulan lagi perhelatan akbar empat tahunan itu akan digelar di Amerika Serikat. Ingin rasanya ngesup sama-sama. Ow indahnya.
Kini keluarga Kaspo masih tegar berkibar. Seperti baterai Energizer: di saat genderang lain terdiam, genderang kita terus berbunyi dum….dum….dum… terus dan terus. Mesti frekuensi kumpul-kumpul kita makin jarang saja karena jarak yang memisahkan, sebuah jalinan tali keluarga membuat kita dekat. Rasa-rasanya kita nggak pernah mau lulus SMA. Di saat yang lain mulai bangga dengan sekolahnya yang baru, kita tetaplah bangga jadi anggota Keluarga Kaspo.
Keakraban kita sekarang adalah keakraban kita dulu juga nggak ada yang berubah. Lama nggak ketemu semakin membuat kita rindu. Rindu akan rambut Ari yang tetap aja brintik. Rindu akan genit kukul yang nangkring di ujung hidung Bancoce. Rindu senyum Lina, yang meskipun medit tetap saja manis. Rindu helemnya Pak Nasrukan yang sampai sekarang nggak ganti-ganti. Juga rindu pada suara Bu Widi yang penuh arti. Kalo pada Rustomo pasti Ente rindu pada wajah ngantuknya atau pada senyum tulus bersahaja. Semuanya itu begitu dekat, lekat dengan benak kita yang mulai sesak oleh persoalan hidup.
Kalo pas preinan, itulah sebenarnya saat kita harus ‘masuk’ sekolah. Karena di musim preinan itulah kita bisa ngumpul bersama. Untuk kemudian saling ngaspo. Suasananya nggak berubah. Plek dengan tiga atau empat tahun yang lalu. Payung Keluarga Kaspo telah membuat kebersamaan ini begitu kental. Acara-acara yang nyaris mustahil dilakukan anak-anak lain, berhasil kita golkan dengan mulus. Sebutlah kegiatan gerak jalan pitulasan kemarin. Itu adalah keikutsertaan kita untuk kali yang ketiga. Apane gak top! Sedangkan kalo hanya sekedar Posyanduan, ibaratnya hal itu sudah wajib kifayah.
Rasanya kalo sudah ngumpul seperti itu, kita merasa lebih nges-em-a dari anak es-em-a manapun. Nggak papa (=mama). Itu bukti kalo kompak kita bener-bener luar dalam. Ada satu hal yang meski pelan tapi pasti akan tiba waktunya. Sedikit tahun lagi, beberapa dari kita mungkin akan nyusul Jenkins, Dafid, Luwak, Purnomo, Fariz, dan Fauzzy: suhul. Atau bahkan mungkin akan mengikuti jejak Rustomo dan Gasri(?): zuwaj. Apa imbas dari semua itu? Boleh jadi kita secara ragawi kita akan makin dipisahkan jarak. Boleh jadi pula kita tak akan pernah ketemu lagi dengan preinan dowo. Meski begitu, ada satu hal juga yang membuat hati kita tentram. Keakraban dan kekompakan itulah. Ibarat pohon akarnya akan menancap dalam. Banjir bandang pun mungkin tak akan mampu menggoyahkannya. Tinggal bagaimana agar pohon itu tidak mati.
Ya. Sudah waktunya kita memikirkan sambil kelop-kelop menjelang tidur, bentuk komunikasi yang bagaimana yang paling pas buat kita. Agar keakraban yang penuh selaksa makna ini makin erat terjalin. Cukupkan hanya dengan mengandalkan Kaspos? Saling memberi kabar dan tukar informasi tetaplah terus dijalin. Meski hanya sekedar pemberitahuan pindah alamat. Satu kata dari Ente bisa berarti banyak bagi Ente-ente yang lain.
Yang terakhir, kapan pun kita kelak bertemu, aku berharap Amin Haryono tetaplah Mbahe Amin, Dwi Pujiwati tetaplah Wiwik, Indro Bawono tetaplah Nonok, Noor Akmala Dewi tetaplah Nanung, Rudy Purnomo tetaplah Kemul, Tegoeh Setyo Noegroho tetaplah Sinyo. Ente yang lain datanglah seperti Ente yang dulu. Ojo lali, ajak walad-walad Ente. Biar bagaimanapun mereka berhak disebut anggota Keluarga Kaspo (Nda…Nda, ngipi nduwe harem ae gak tau, kok wis ngomong khasol walad).
Terlalu utopis. Yo ben.
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin kukenang selalu
Hatiku damai
Jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai
Jiwaku tentram bersamamu.
🙂
keluarga Kaspo, keluarganya org Indonesia..
Berkarya terus, mas..